Berusaha memberikan manfaat dalam memberdayakan masyarakat.

Archive for Desember, 2011

Kewirausahaan Sosial Untuk Indonesia

Sosiopreneur atau sering disebut juga kewirausahaan sosial sebenarnya telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu yang diawali oleh Florence Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi). Pengertian sederhana dari kewirausahaan sosial adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan kewirausahaan (http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/1353). Para wirausahawan sosial memanfaatkan prinsip bisnisnya untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik. Meskipun awalnya hanya untuk mencapai tujuan bisnis tetapi pada akhirnya tujuan yang ingin dicapai adalah terciptanya kemakmuran bagi penduduk Indonesia. Angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2011 adalah turun 1 juta orang atau setara dengan 3,2% dibandingkan dengan Maret 2010 yang mencapai angka 31,02 juta orang penduduk miskin di Indonesia, seperti yang diungkapkan Badan Pusat Statika Indonesia. Itu artinya kondisi rakyatIndonesia relatif membaik, tetapi kita tidak hanya puas sampai disini. Jika kita zoom in pada rakyat Indonesia yang miskin, angka 30,02 juta orang adalah angka yang besar.

Kesejahteraan rakyat Indonesia belum merata. Sosiopreneur menjadi salah satu solusi untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Sosiopreneur dengan jiwa sosial dan entrepreneurnya berusaha memberdayakan masyarakat yang pengangguran atau masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah perkapita. Sumber Daya Manusia di Indonesia sangat melimpah, hanya saja kurangnya pemberdayaan SDM tersebut sehingga masih banyak rakyat yang belum mencapai kesejahteraan. Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan pakar di bidang kewirausahaan sosial menyatakan bahwa kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi kegiatan: a) yang tidak bertujuan mencari laba, b) melakukan bisnis untuk tujuan sosial, dan c) campuran dari kedua tujuan itu, yakni tidak untuk mencari laba, namun untuk tujuan sosial. (http://informatika12arifbudiyanto.blog.mercubuana.ac.id/).

Seperti yang diungkapkan oleh Gregory Dees, sosiopreneur membangun bisnis dengan misi sosial yaitu memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat bisa meng- upgrade kemampuan, paradigma, kreatifitas, dan semangat dalam mencapai keadaan yang lebih baik. Sosiopreneur menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat yang pengangguran dan masyarakat bawah sehingga mereka bisa memiliki penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika bisnis ini bisa berkembang dan maju maka secara otomatis kehidupan masyarakat yang tergabung dalam perusahaan tersebut akan berada di posisi yang lebih baik. Dan secara berangsur, perlahan tapi pasti, jumlah masyarakat miskin di Indonesia akan berkurang. Salah satu tanda pengakuan yang sangat luar biasa pada wirausaha sosial ialah terpilihnya Mohammad Yunus, pionir sistem kredit mikro yang ditujukan kepada para wanita pengusaha skala mikro, sebagai penerima hadiah Nobel perdamaian tahun 2006 lalu.

Proses pemerataan kesejahteraan masyarakat akan berlangsung lebih cepat jika dari wirausahawan yang telah sukses ikut serta dalam penciptaan lapangan kerja bagi rakyat kecil. Selain itu, perlunya pengembangan kewirausahaan di Indonesia dengan penanaman jiwa kewirausahaan di kalangan generasi penerus. Menurut Timmons dan Spinelli, 6 karakteristik dan perilaku wirausaha sosial adalah 1) Komitmen dan determinasi, 2) Kepemimpinan, 3) Obsesi pada peluang, 4) Toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, 5) Kreativitas, keandalan, dan daya beradaptasi, 6) Motivasi untuk unggul. Semua karakter ini sebagian dapat kita temukan pada karakter mahasiswa. Jadi penanaman jiwa sosiopreneur di kalangan mahasiswa sangat perlu untuk dilakukan karena mahasiswa adalah generasi muda penerus bangsa yang masih mempunyai semangat tinggi untuk kemajuan bangsa.

Sosiopreneur di kalangan mahasiswa sudah menyebar keberadaannya, di ITB sendiri akan diadakan lomba sosiopreneur pada acara ITB Fair. Di UGM, keberadaan sosiopreneur juga telah ada dengan adanya seminar yang membahas kewirausahaan.Selain itu, di provinsi Jambi telah didirikan Rumah Singgah Sociopreneur yang bertujuan untuk mengurangi jumlah pengangguran terdidik di provinsi Jambi. Dalam situs http://informatika12arifbudiyanto.blog.mercubuana.ac.id/ dituliskan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kewirausahaan sosial adalah Asian Institute of Management (AIM), Manila, Filipina, dalam program Master in Development Management. Peguruan Tinggi AIM di Manila ini unggul dalam menghasilkan kasus untuk pendidikan dan pelatihan, di samping menghasilkan model pengembangan suatu masyarakat atau daerah. Untuk menjadi wirausaha tidak hanya modal materi yang dibutuhkan, tetapi yang utama adalah keberanian mencoba untuk merealisasikan. Sumber pembelajaran bagi wirausaha yaitu aktif mencoba, belajar dari jejaring sosial,dan belajar dari sumber formal. Dengan saling bergenggaman tangan di antara wirausahawan yang ada, angka kemiskinan di Indonesia dapat kita turunkan dan bersama menciptakan masyarakat yang mandiri untuk mencapai taraf kesejahteraan di kalangan masyarakat Indonesia.

[Oleh Nining Rohayati]

Tri Mumpuni, Tak Sekedar Menerangi

Tri Mumpuni adalah salah satu sosok sosiopreneur Indonesia. Beliau bersama suaminya Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji  melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Rekayasa (Ibeka) menerangi tak kurang dari 60 desa terpencil dengan pembangkit listrik yang mereka bangun.

Ibu Tri Mumpuni atau yang biasa dipanggil Bu Puni adalah anak ketiga dari dari delapan bersaudara. Beliau lahir di Semarang pada 6 Agustus 1964. Dari kecil belau telah belajar tentang kepedulian dan kepekaan sosial dari keluarganya. Ibunya , Gemiarsih merupakan wanita yang aktif dalam kegiatan social. Sedangkan ayahnya, Wiyatno, adalah seorang pegawai di BUMN.

Ibu Tri Mumpuni bersama suami, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PT PLN.  Ibu Tri Mumpuni dan suaminya memanfaatkan potensi energi air yang terdapat di lokasi setempat untuk menggerakkan turbin tanpa bahan bakar fosil sehingga ramah lingkungan. Ide awal pembangunan PLTMH berawal dari seringnya Ibu Tri Mumpuni bersama suami berkeliling ke desa-desa dan melihat sumber air yang melimpah namum belum termanfaatkan. Ibu Tri Mumpuni kemudian  bicarakan kepada Kepala Desa setempat mengenai kem

Tri Mumpuni

Tri Mumpuni

ungkinan untuk membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik dari sebuah turbin. Kemudan Ibu Tri Mumpuni mengumpulkan data untuk melihat kemungkinannya secara teknis serta menghitung rencana anggaran biaya kemudian mencari sumber dana untuk pembangunan pembangkit. Kedutaan Jepang adalah salah satu institusi yang banyak membantunya.

 Setelah dana tersedia, yayasan Ibeka lalu mengirim Tim Sosial untuk membangun komunitas. Tim Sosial ini akan berinteraksi selama beberapa minggu dengan masyarakat agar terbina hubungan yang baik. Langkah awalnya adalah menghubungi tokoh agama maupun tokoh adat setempat. Kemudian masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, dengan menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, hingga siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan bongkar pasang mesin turbin. Tim yangg terbentuk tersebut juga diberikan pengetahuan pengoperasian mesin turbin dan penghitungan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan dan biaya memelihara pembangkit listrik. Selanjutnya baik Tim yang terbentuk dan Tim Ibeka secara gotong royong membangun turbin. Agar pembangkit listrik tenaga air itu dapat menjalankan fungsinya terus-menerus maka daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Tidak boleh ada penebangan hutan dan vegetasi.

” Listrik bagi desa terisolir bukanlah tujuan akhir”, ujar Ibu Tri Mumpuni. “Membangun pemberdayaan masyarakat khususnya secara ekonomi adalah tujuan utama kami. Dengan adanya listrik diharapkan ekonomi masyarakat dapat terbangun dan sekaligus membantu pemerintah untuk melistriki desa-desa terpencil. “

Karena itu, meskipun telah melistriki banyak tempat, Bu Puni yang menjadi Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), lembaga swadaya yang dia dirikan bersama sumaninya pada 17 Agustus 1992, terus mengembangkan end use productivity, yaitu bagaimana masyarakat desa setelah memiliki listrik menggunakan listrik itu untuk kegiatan produktif sesuai potensi desa.

Apa yang dilakukan Ibu Tri Mumpuni memang sangat mulia. Tidak sekedar menerangi dengan  menyediakan listrik bagi desa terpencil, Bu Puni lebih jauh telah majukan masyarakat desa dengan memberi ilmu tentang bagaimana mengelola sebuah pembangkit listrik secara mandiri. Dengan apa yang dilakukannya desa-desa terpencil dari Sabang hingga Marauke kini telah merasakan manfaat yang besar . Perekonomian masyarakat pedesaan bisa mulai dibangun.Tak heran beliau mendapat pujian dari Presiden Amerika Barrack Obama dalam pembukaan “Presidential Summit on Entrepreneurship” di Washington serta mendapat penghargaan Climate Hero tahun 2005 dari World Wildlife Fund for Nature. Apa yang dilakukan seorang sosiopreneur seperti Ibu Tri Mumpuni patut kita tiru. Dengan latar belakang pendidikan yang kita miliki mari kita membangun negeri dari hal yang kecil.

Salam wirausaha ! 🙂